TRAUMA KAPITIS
EPIDEMIOLOGI
Sejumlah penelitian menunjukkan
bahwa cedera kepala terjadi dan datang ke ruang gawat darurat antara jam 16
sampai dengan tengah malam. Kemudian frekuensi paling tinggi terdapat antara hari
Jumat dan Minggu. Prevalensi kejadian pada pria adalah 2-4 kali lebih
tinggi daripada wanita. Terutama pada pria muda dan pada usia tua. Hal ini
terutama dikarenakan kekerasan dan kecelakaan lalu lintas.
Secara umum
kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab utama trauma kepala dengan prosentase
diatas 50%.
Data dari Health Interview Survey menunjukkan
bahwa sekitar seperlima trauma kepada masuk kategori moderate sampai parah.
Hanya 15% dari total trauma kepala di populasi yang dirawat di Rumah Sakit, dan
hanya 9,6% dari yang masuk rumah sakit mempunyai GCS antara 3-11.
Angka
kematian trauma kepala di Amerika
Serikat berkisar antara 14-30 per 100.000 penduduk. Angka kematian dari pasien
yang masuk rumah sakit berkisar sangat lebar antara 4 – 25%. Lebih dari 60%
kematian terjadi sebelum pasien masuk rumah sakit.
DEFINISI
Trauma kapitis adalah suatu trauma
mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala dan
mengakibatkan gangguan fungsi neurologis.
Trauma capitis adalah bentuk trauma yang dapat mengubah
kemampuan otak dalam menghasilkan keseimbangan aktivitas fisik, intelektual,
emosi, sosial atau sebagai gangguan traumatik yang dapat menimbulkan perubahan
pada fungsi otak. (Black, 1997).
Cedera kepala adalah cedera yang menimbulkan kerusakan atau
perlukaan pada kulit kepala, tulang tengkorak, dan jaringan otak yang disertai
atau tanpa disertai perdarahan. (Lukman, 1993).
Trauma kepala (Trauma Capitis)
adalah cedera daerah kepala yang terjadi akibat dipukul atau terbentur
benda tumpul. Untuk mengatasi trauma kepala, maka tengkorak kepala sangat
berperan penting sebagai pelindung jaringan otak. Cedera pada otak bisa berasal
dari trauma langsung atau tidak langsung pada kepala. Trauma tidak langsung
disebabkan karena tingginya tahanan atau kekuatan yang merobek terkena pada
kepala akibat menarik leher. Trauma langsung bila kepala langsung terluka.
Semua itu berakibat terjadinya akselerasi-deselerasi dan pembentukan rongga.
Trauma langsung juga menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya. Kekuatan itu bisa
terjadi seketika atau rusaknya otak oleh kompresi, goresan atau tekanan (At a
glance, 2006 ).
Trauma kepala adalah suatu trauma yang
mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat
injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi &
Rita Yuliani, 2001).
Cedera kepala adalah suatu cedera
yang terjadi pada daerah kepala yang dapat mengenai kulit kepala, tulang
tengkorak, atau otak.2 Penyebab
cedera kepala terbanyak adalah akibat kecelakaan lalu lintas, disusul dengan
jatuh (terutama pada anak-anak).1 Meskipun
pada kenyataannya sebagian besar kasus trauma kepala bersifat ringan dan tidak
memerlukan perawatan khusus, tetapi pada kasus trauma kepala yang berat tidak
jarang berakhir dengan kematian atau kecacatan.
ETIOLOGI
Cedera pada trauma dapat terjadi akibat tenaga dari luar (Arif
Musttaqin, 2008) berupa:
a.
Benturan/jatuh karena kecelakaan
b.
Kompresi/penetrasi baik oleh benda
tajam, benda tumpul, peluru dan ledakan panas.
Akibat cedera ini berupa memar, luka
jaringan lunak, cedera muskuloskeletal dan kerusakan organ.
KLASIFIKASI TRAUMA
KAPITIS
Klasifikasi Cedera Kepala (Arif Muttaqin,
2008):
a) Cedera
kepala primer
Cedera
kepala primer mencakup : fraktur tulang, cedera fokal dan cedera
otak difusa, yang masing-masing
mempunyai mekanisme etiologis dan patofisiologi yang unik.
·
Fraktur tulang kepala dapat terjadi
dengan atau tanpa kerusakan otak, namun biasanya ini bukan merupakan penyebab
utama timbulnya kacacatan neurologis.
·
Cedera fokal merupakan akibat
kerusakan setempat yang biasanya dijumpai pada kira-kira separuh dari kasus
cedera kepala berat. Kelainan ini mencakup kontusi kortikal, hematom subdural,
epidural dan intraserebral yang secara makroskopis tampak dengan mata telanjang
sebagai suatu kerusakan yang berbatas tegas.
·
Cedera otak dufusa pada dasarnya
berbeda dengan cedera vokal, dimana keadaan ini berkaitan dengan disfungsi otak
yang luas serta biasanya tidak tampak secara mikroskopis. Mengingat bahwa
kerusakan yang terjadi kebanyakan melibatkan akson-akson, maka cedera ini juga
dikenal dengan cedera aksional difusa.
b) Kerusakan
otak sekunder
Cedera kepala berat seringkali
menampilkan gejala abnormalitas/gangguan sistemik akibat hipoksia dan
hipotensi, dimana keadaan-keadaan ini merupakan penyebab yang sering dari
kerusakan otak sekunder. Hipoksia dan hipotensi semata akan menyebabkan
perubahan-perubahan minimal, yang kemudian bersamaan dengan efek cedera mekanis
memperberat gangguan-gangguan metabolisme serebral.
Hipoksia
dapat merupakan akibat dari kejadian aspirasi, obstruksi jalan nafas atau
cedera toraks yang terjadi bersamaan dengan trauma kepala, namun sering juga
terjadi hipoksia pasca cedera kepala dengan ventilasi normal dan tanpa adanya
keadaan-keadaan tersebut di atas.
Hipotensi
pada penderita cedera kepala biasanya hanya sementara yaitu sesaat setelah
konkusi atau merupakan tahap akhir dari kegagalan meduler yang berkaitan dengan
herniasi cerebral.
c) Edema
cerebral
Tipe
yang terpenting pada kejadian cedera kepala adalah edema vasogenik dan edema
iskemik. Edema vasogenik disebabkan oleh adanya peningkatan permeabilitas
kapiler akibat sawar darah otak sehingga terjadi penimbunan cairan plasma
ekstraseluler terutama di massa putih serebral. Edema iskemik merupakan
penimbunan cairan intraseluler sehingga sel tersebut tidak dapat mempertahankan
keseimbangan cairannya.
Edema
cerebral yang mencapai maksimal pada hari ke tiga pasca cedera, dapat
menimbulkan suatu efek massa yang bermakna. Di samping itu edema ini sendiri
dapat juga terjadi, tanpa adanya tampilan suatu konstusi atau pendarahan
intraserebral. Keadaan ini dapat terjadi akibat gangguan sekunder dari
hipotensi sistemik dan hipoksia, cedera arterial atau hipertensi intracranial.
Gangguan aliran darah cerebral trauma yang mengakibatkan anoksia jaringan juga
tampil sebagai daerah “swelling” hipodens difus.
d) Pergeseran
otak(Brain Shift)-herniasi batang otak
Adanya
satu massa yang berkembang membesar (hemotom, abses atau pembengkakan otak) di
semua lokasi dalam kavitas intracranial (epidural/ubdural/intracerebral
supra/infratentorial) biasanya akan menyebab pergeseran dan distori otak,
bersamaan dengan peningkatan intracranial akan mengarah terjadinya herniasi
otak.
Jenis-jenis trauma capitis
Menurut Brunner dan suddarth, 2002
jenis-jenis trauma capitis yaitu :
a. Fraktur
Fraktur kalvaria atau atap tengkorak
apabila tidak terbuka tidak ada hubungan dengan dunia luar tidak memerlukan
perhatian segera yang lebih penting adalah intracranialnya. Fraktur basis
cranium dapat berbahaya terutama karena perdarahan yang ditimbulkan sehingga
menimbulkan ancaman pada jalan nafas.
b. Comosio cerebri
(gegar otak)
Komosio serebri yaitu
disfungsi neuron otak sementara yang disebabkan oleh trauma kapitis tanpa
menunjukkan kelainan mikroskopis jaringan otak. Patologi dan Simptomatologi
Benturan pada kepala menimbulkan gelombang tekanan di dalam rongga tengkorak
yang kemudian disalurkan ke arah lobang foramen magnum ke arah bawah canalis
spinalis dengan demikian batang otak teregang dan menyebabkan lesi
iritatif/blokade sistem reversible terhadap sistem ARAS. Pada komosio serebri
secara fungsional batang otak lebih menderita daripada fungsi hemisfer. Keadaan
ini bisa juga terjadi oleh karena tauma tidak langsung yaitu jatuh terduduk
sehingga energi linier pada kolumna vertebralis diteruskan ke atas sehingga
juga meregangkan batang otak. Akibat daripada proses patologi di atas maka terjadi
gangguan kesadaran (tidak sadar kurang dari 20 menit) bisa diikuti sedikit
penurunan tekanan darah, pols dan suhu tubuh. Muntah dapat juga terjadi bila
pusat muntah dan keseimbangan di medula oblongata terangsang. Gejala :
·
pening/nyeri kepala
·
tidak sadar/pingsan kurang dari 20 menit
·
amnesia retrograde : hilangnya ingatan pada peristiwa beberapa
lama sebelum kejadian kecelakaan (beberapa jam sampai beberapa hari). Hal ini
menunjukkan keterlibatan/gangguan pusat-pusat di korteks lobus temporalis.
·
Post trumatic amnesia : (anterograde
amnesia) lupa peristiwa beberapa saat sesudah trauma. Derajat
keparahan trauma yang dialaminya mempunyai korelasi dengan lamanya waktu
daripada retrograde amnesia, post traumatic amnesia dan masa-masa confusionnya.
Amnesia ringan disebabkan oleh lesi di hipokampus, akan tetapi jika amnesianya
berat dan menetap maka lesi bisa meluas dari sirkuit hipokampus ke garis tengah
diensefalon dan kemudian ke korteks singulate untuk bergabung dengan lesi
diamigdale atau proyeksinya ke arah garis tengah talamus dan dari situ ke
korteks orbitofrontal. Amnesi retrograde dan anterograde terjadi secara
bersamaan pada sebagian besar pasien (pada kontusio serebri 76 % dan komosio
serebri 51 %). Amnesia retrograde lebih sering terjadi daripada amnesia
retrograde. Amnesia retrograde lebih cepat pulih dibandingkan dengan amnesia
anterograde. Gejala tambahan : bradikardi dan tekanan darah naik sebentar,
muntah-muntah, mual, vertigo. (vertigo dirasakan berat bila disertai komosio
labirin). Bila terjadi keterlibatan komosio medullae akan terasa ada transient
parestesia ke empat ekstremitas. Gejal-gejala penyerta lainnya (sindrom post
trauma kapitis), adalah nyeri kepala, nausea, dizziness, sensitif terhadap
cahaya dan suara, iritability, kesukaran konsentrasi pikiran, dan gangguan
memori. Sesudah beberapa hari atau beberapa minggu ; bisa di dapat gangguan
fungsi kognitif (konsentrasi, memori), lamban, sering capek-capek, depresi,
iritability. Jika benturan mengenai daerah temporal nampak gangguan kognitif
dan tingkah laku lebih menonjol.
c. Kontusio
cerebri
Kehilangan kesadaran lebih lama,
dalam kepustakaan saat ini dikenal sebagai DAI (Difus Absonal Injury) yang
mempunyai prognosis yang lebih buruk.
d. Perdarahan
intracranial
Perdarahan intracranial dapat berupa
perdarahan epidural, perdarahan subdural atau perdarahan intracranial.
Perdarahan epidural dapat berbahaya karena perdarahan berlanjut atau
menyebabkan peninggian tekanan intracranial yang semakin berat.
Klasifikasi klinis cedera kepala
Cedera
kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3
deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan morfologi.
1. Berdasarkan mekanismenya cedera
kepala dibagi atas:
Ø
Cedera
kepala tumpul, biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh atau
pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan deselerasi yang
cepat menyebabkan otak bergerak di dalam rongga cranial dan melakukan kontak
pada protuberans tulang tengkorak.
Ø
Cedera
tembus, biasanya disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.
2. Berdasarkan morfologinya cedera kepala
dikelompokkan menjadi;
·
Fraktur
tengkorak; Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar tengkorak.
Fraktur dapat berupa garis/linear, mutlipel dan menyebar dari satu titik
(stelata) dan membentuk fragmen-fragmen tulang (kominutif). Fraktur tengkorak
dapat berupa fraktur tertutup yang secara normal tidak memerlukan perlakuan
spesifik dan fraktur tertutup yang memerlukan perlakuan untuk memperbaiki
tulang tengkorak.
·
Lesi
intrakranial; dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, perdarahan
subdural, kontusio, dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan terjadi
secara bersamaan.
Secara umum untuk mendeskripsikan
beratnya penderita cedera kepala digunakan Glasgow Coma Scale (GCS). Penilaian
ini dilakukan terhadap respon motorik (1-6), respon verbal (1-5) dan buka mata
(1-4), dengan interval GCS 3-15.
3. Berdasarkan beratnya cedera kepala
dikelompokkam menjadi:
a. Cedera kepala berat: nilai GCS
<8
b.
Cedera
kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13, lama kejadian kurang dari 8 jam. Kesadaran
menurun namun masih dapat mengikuti perintah-perintah yang sederhana, dan
dijumpai adanya defisit neurologis vocal
c.
Cedera
kepala ringan dengan nilai GCS 14-15, Bila dijumpai adanya riwayat kehilangan kesadaran/pingsan
yang sesaat setelah mengalami trauma, kemudian sadar kembali. Pada waktu
diperiksa dalam keadaan sadar penuh, orientasi baik dan tidak ada defisit
neurologist.
GEJALA
KLINIS
Tanda dan gejala cedera kepala
dapat dikelompokkan dalam 3 kategori utama (Hoffman, dkk, 1996):
1) Tanda dan gejala fisik/somatik:
nyeri kepala, dizziness, nausea, vomitus
2)
Tanda
dan gejala kognitif: gangguan memori, gangguan perhatian dan berfikir kompleks
3)
Tanda
dan gejala emosional/kepribadian: kecemasan, iritabilitas
Gambaran
klinis secara umum pada trauma kapitis :
Ø Pada kontusio segera terjadi
kehilangan kesadaran
Ø Pola pernafasan secara progresif
menjadi abnormal
Ø Respon pupil mungkn lenyap.
Ø Nyeri kepala dapat muncul
segera/bertahap seiring dengan peningkatan TIK
Ø Dapat timbul mual-muntah akibat
peningkatan tekanan intracranial
Ø Perubahan perilaku kognitif dan
perubahan fisik pada berbicara dan gerakan motorik dapat timbul segera atau
secara lambat.
PATOFISIOLOGI
Otak dapat berfungsi dengan baik
bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan di
dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak punya
cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan
menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai
bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg%, karena akan
menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh kebutuhan glukosa
tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70% akan terjadi
gejala-gejala permulaan disfungsi serebral.
Faktor
kardiovaskuler
Trauma
kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktivitas atipikal
miokardial, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru.
Tidak
adanya stimulus endogen saraf simpatis mempengaruhi penurunan kontraktilitas
ventrikel. Hal ini menyebabkan penurunan curah jantung dan meningkatkan tekanan
atrium kiri. Akibatnya tubuh berkompensasi dengan meningkatkan tekanan
sistolik. Pengaruh dari adanya peningkatan tekanan atrium kiri adalah
terjadinya edema paru.
Faktor
Respiratori
Adanya
edema paru pada trauma kepala dan vasokonstriksi paru atau hipertensi paru
menyebabkan hiperapnoe dan bronkokonstriksi
Konsentrasi
oksigen dan karbon dioksida mempengaruhi aliran darah. Bila PO2 rendah, aliran
darah bertambah karena terjadi vasodilatasi. Penurunan PCO2, akan terjadi
alkalosis yang menyebabkan vasokonstriksi (arteri kecil) dan penurunan CBF
(cerebral blood fluid).
Edema otak ini menyebabkan
kematian otak (iskemik) dan tingginya tekanan intra kranial (TIK) yang dapat
menyebabkan herniasi dan penekanan batang otak atau medulla oblongata.
Faktor
metabolisme
Pada trauma kepala terjadi
perubahan metabolisme seperti trauma tubuh lainnya yaitu kecenderungan retensi
natrium dan air dan hilangnya sejumlah nitrogen
Retensi natrium juga disebabkan
karena adanya stimulus terhadap hipotalamus, yang menyebabkan pelepasan ACTH
dan sekresi aldosteron.
Faktor
gastrointestinal
Trauma kepala juga mempengaruhi
sistem gastrointestinal. Setelah trauma kepala (3 hari) terdapat respon tubuh
dengan merangsang aktivitas hipotalamus dan stimulus vagal. Hal ini akan
merangsang lambung menjadi hiperasiditas.
Faktor
psikologis
Selain
dampak masalah yang mempengaruhi fisik pasien, trauma kepala pada pasien adalah
suatu pengalaman yang menakutkan. Gejala sisa yang timbul pascatrauma akan
mempengaruhi psikis pasien. Demikian pula pada trauma berat yang menyebabkan
penurunan kesadaran dan penurunan fungsi neurologis akan mempengaruhi
psikososial pasien dan keluarga.
Terjadinya
benturan pada kepala dapat terjadi pada 3 jenis keadaan yaitu:
a)
Kepala
diam dibentur oleh benda yang bergerak,
b)
Kepala
yang bergerak membentur benda yang diam dan,
c)
Kepala
yang tidak dapat bergerak karena bersandar pada benda yang lain dibentur oleh
benda yang bergerak (kepala tergencet).
Terjadinya
lesi pada jaringan otak dan selaput otak pada cedera kepala diterangkan oleh
beberapa hipotesis yaitu getaran otak, deformasi tengkorak, pergeseran otak dan
rotasi otak. Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa contre coup
dan coup. Contre coup dan coup pada cedera kepala dapat terjadi kapan saja pada
orang-orang yang mengalami percepatan pergerakan kepala. Cedera kepala pada
coup disebabkan hantaman pada otak bagian dalam pada sisi yang terkena
sedangkan contre coup terjadi pada sisi yang berlawanan dengan daerah benturan.
Berdasarkan
patofisiologinya cedera kepala dibagi menjadi cedera kepala primer dan cedera
kepala skunder.
Cedera
kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian
cedera, dan merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera ini umumnya menimbulkan
lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat fungsi stabil,
sehingga sel-sel yang sakit dapat menjalani proses penyembuhan yang optimal.
Cedera
kepala skunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan lebih merupakan
fenomena metabolik. Pada penderita cedera kepala berat, pencegahan cedera
kepala skunder dapat mempengaruhi tingkat kesembuhan/keluaran penderita.
Penyebab cedera kepala skunder antara lain penyebab sistemik (hipotensi, hipoksemia, hipo/hiperkapnea, hipertermia, dan hiponatremia) dan penyebab intracranial (tekanan intrakranial meningkat, hematoma, edema, pergeseran otak (brain shift), vasospasme, kejang, dan infeksi).
Penyebab cedera kepala skunder antara lain penyebab sistemik (hipotensi, hipoksemia, hipo/hiperkapnea, hipertermia, dan hiponatremia) dan penyebab intracranial (tekanan intrakranial meningkat, hematoma, edema, pergeseran otak (brain shift), vasospasme, kejang, dan infeksi).
Aspek
patologis dari cedera kepala antara lain, hematoma epidural (perdarahan yang
terjadi antara tulang tengkorak dan dura mater), perdarahan subdural (perdarahan
yang terjadi antara dura mater dan arakhnoidea), higroma subdural (penimbunan
cairan antara dura mater dan arakhnoidea), perdarahan subarakhnoidal cederatik
(perdarahan yang terjadi di dalam ruangan antara arakhnoidea dan permukaan
otak), hematoma serebri (massa darah yang mendesak jaringan di sekitarnya
akibat robekan sebuah arteri), edema otak (tertimbunnya cairan secara
berlebihan didalam jaringan otak), kongesti otak (pembengkakan otak yang tampak
terutama berupa sulsi dan ventrikel yang menyempit), cedera otak fokal
(kontusio, laserasio, hemoragia dan hematoma serenri setempat), lesi nervi
kranialis dan lesi sekunder pada cedera otak.
PEMERIKSAAN
DIAGNOSTIK:
1.
CT–Scan,
mengidentifikasi adanya sol, hemoragi menentukan ukuran ventrikel pergeseran
cairan otak
2.
MRI,
sama dengan CT –Scan dengan atau tanpa kontraks
3.
Angiografi
Serebral, menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran jaringan
otak akibat edema, perdarahan dan trauma
4.
EEG,
memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang
5.
Sinar
X, mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran struktur dan
garis tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen tulang)
6.
BAER
(Brain Eauditory Evoked), menentukan fungsi dari kortek dan batang otak
7.
PET
(Pesikon Emission Tomografi), menunjukkan aktivitas metabolisme pada otak
8.
Pungsi
Lumbal CSS, dapat menduga adanya perdarahan subaractinoid
9.
Kimia/elektrolit
darah, mengetahui ketidakseimbangan yang berpengaruh dalam peningkatan TIK
10. GDA (Gas Darah Arteri),
mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat
meningkatkan TIK
11. Pemeriksaan toksitologi,
mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran
12. Kadar antikonvulsan darah, dapat
dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi
kejang
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal penderita
cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk memantau sedini mungkin dan
mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan umum seoptimal
mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit.
Untuk penatalaksanaan penderita
cedera kepala, Adveanced Cedera Life Support (2004) telah menepatkan standar
yang disesuaikan dengan tingkat keparahan cedera yaitu ringan, sedang dan
berat.
Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain : A (airway), B (breathing), C (circulation), D (disability), dan E (exposure/environmental control) yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi.
Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain : A (airway), B (breathing), C (circulation), D (disability), dan E (exposure/environmental control) yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi.
Pada penderita cedera kepala
khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting untuk
mencegah cedera otak skunder dan menjaga homeostasis otak.
Kelancaran jalan napas (airway) merupakan hal pertama yang harus diperhatikan. Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada penderita dengan cedera kepala berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal.
Kelancaran jalan napas (airway) merupakan hal pertama yang harus diperhatikan. Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada penderita dengan cedera kepala berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal.
Status sirkulasi dapat dinilai
secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran dan denyut nadi (circulation).
Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada tidaknya perdarahan
eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah.
Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status
sirkulasi yang relatif normovolemik. Pada penderita dengan cedera kepala,
tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg untuk
mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut nadi dapat digunakan secara
kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik. Bila denyut arteri radialis dapat teraba
maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila denyut arteri femoralis yang
dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut
nadi hanya teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar 50
mmHg. Bila ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada luka.
Setelah survei primer, hal selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi. Cairan resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua jalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena cedera sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak dibandingkan keadaan udem otak akibat pemberian cairan yang berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan intracranial.
Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat menentukan keluaran penderita. Survei sekunder dapat dilakukan apabila keadaan penderita sudah stabil yang berupa pemeriksaan keseluruhan fisik penderita. Pemeriksaan neurologis pada penderita cedera kepala meliputi respos buka mata, respon motorik, respon verbal, refleks cahaya pupil, gerakan bola mata (doll’s eye phonomenome, refleks okulosefalik), test kalori dengan suhu dingin (refleks okulo vestibuler) dan refleks kornea.
Setelah survei primer, hal selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi. Cairan resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua jalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena cedera sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak dibandingkan keadaan udem otak akibat pemberian cairan yang berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan intracranial.
Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat menentukan keluaran penderita. Survei sekunder dapat dilakukan apabila keadaan penderita sudah stabil yang berupa pemeriksaan keseluruhan fisik penderita. Pemeriksaan neurologis pada penderita cedera kepala meliputi respos buka mata, respon motorik, respon verbal, refleks cahaya pupil, gerakan bola mata (doll’s eye phonomenome, refleks okulosefalik), test kalori dengan suhu dingin (refleks okulo vestibuler) dan refleks kornea.
Tidak
semua pederita cedera kepala harus dirawat di rumah sakit.
Indikasi
perawatan di rumah sakit antara lain;
·
fasilitas
CT scan tidak ada,
·
hasil
CT scan abnormal,
·
semua
cedera tembus,
·
riwayat
hilangnya kesadaran,
·
kesadaran
menurun,
·
sakit
kepala sedang-berat,
·
intoksikasi
alkohol/obat-obatan,
·
kebocoran
liquor (rhinorea-otorea),
·
cedera
penyerta yang bermakna,
·
GCS
< 15.
Terapi
medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan suasana
yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat
berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol, steroid,
furosemid, barbitirat dan antikonvulsan.
Indikasi
pembedahan pada penderita cedera kepala bila hematom intrakranial >30 ml,
midline shift >5 mm, fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres
dengan kedalaman >1 cm.
Penatalaksanaan
Khusus
a. Cedera kepala ringan:
pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan ke rumah tanpa perlu
dilakukan pemeriksaan CT Scan bila memenuhi kriteria berikut:
ü
Hasil pemeriksaan neurologis
(terutama status mini mental dan gaya berjalan) dalam batas normal
ü
Foto servikal jelas normal
ü
Ada orang yang bertanggung-jawab untuk
mengamati pasien selama 24 jam pertama, dengan instruksi untuk segera kembali
ke bagian gawat darurat jika timbul gejala perburukan
Kriteria
perawatan di rumah sakit:
ü
Adanya darah
intrakranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan
ü
Konfusi, agitasi, atau
kesadaran menurun
ü
Adanya tanda atau
gejala neurologis fokal
ü
Intoksikasi obat
atau alcohol
ü
Adanya penyakit
medis komorbid yang nyata
ü
Tidak adanya orang
yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien di rumah.
b. Cedera
kepala sedang: pasien yang menderita konkusi otak
(komosio otak), dengan skala korna Glasgow 15 dan CT Scan normal, tidak pertu
dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi di rumah, meskipun
terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing, atau amnesia. Risiko timbuInya
lesi intrakranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang
adalah minimal.
c. Cedera
kepala berat: Setelah penilaian awal dan
stabilisasi tanda vital, keputusan segera pada pasien ini adalah apakah
terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera (hematoma intrakranial yang
besar). Jika ada indikasi, harus segera dikonsulkan ke bedah saraf untuk tindakan
operasi.
Penatalaksanaan cedera kepala berat
seyogyanya dilakukan di unit rawat intensif.
ü
Penilaian ulang jalan napas dan
ventilasi
ü
Pertahankan posisi kepala sejajar
atau gunakan tekhnik chin lift atau jaw trust.
ü
Monitor tekanan darah
ü
Pemasangan alat monitor tekanan
intrakranial pada pasien dengan skor GCS < 8, bila memungkinkan.
ü
Penatalaksanaan cairan: hanya
larutan isotonis (salin normal atau larutan Ringer laktat) yang diberikan
kepada pasien dengan cedera kepala karena air bebas tambahan dalam salin 0,45%
atau dekstrosa 5 % dalam air (D5W) dapat menimbulkan eksaserbasi edema serebri.
ü
Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan
respons hipermetabolik dan katabolik, dengan keperluan 50-100% lebih tinggi
dari normal.
ü
Temperatur badan: demam mengeksaserbasi
cedera otak dan harus diobati secara agresif dengan asetaminofen atau kompres
dingin.
ü
Antikejang: fenitoin 15-20 mg/kgBB
bolus intravena, kemudian 300 mg/hari intravena. Jika pasien tidak menderita
kejang, fenitoin harus dihentikan setelah 7- 10 hari. Steroid: steroid tidak
terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan cedera kepala dan dapat
meningkatkan risiko infeksi, hiperglikemia, dan komplikasi lain. Untuk itu,
Steroid hanya dipakai sebagai pengobatan terakhir pada herniasi serebri akut
(deksametason 10 mg intravena sebap 4-6 jam selama 48-72 jam).
ü
Profilaksis trombosis vena dalam
ü
Profilaksis ulkus peptic
ü
Antibiotik masih kontroversial.
Golongan penisilin dapat mengurangi risiko meningitis pneumokok pada pasien
dengan otorea, rinorea cairan serebrospinal atau udara intrakranial tetapi
dapat meningkatkan risiko infeksi dengan organisme yang lebih virulen.
ü
CT Scan lanjutan
Komplikasi
Cedera Kepala Berat
v
Kebocoran cairan serebrospinal
v
Fistel karotis-kavemosus ditandai
oleh trias gejala: eksolftalmos, kemosis, dan bruit orbita, dapat timbul segera
atau beberapa hari setelah cedera.
v
Diabetes insipidus oleh kerusakan
traumatik pada tangkai hipofisis.
v
Kejang pasca trauma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar